Dilema Antara Gizi Dan Bahan Kimia Berbahaya Dalam Mie Instan

Mi instan memang fenomenal di Indonesia. Meskipun sering beredar rumor soal efek buruk konsumsi mi instan bagi tubuh, penjualan produk makanan ini seperti tak terpengaruh. Konsumsi mi instan di negeri ini sudah menembus lima kilogram per kapita pada 2005.

Namun, isu penarikan produk mi instan produksi PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk di Taiwan menimbulkan kembali isu keamanan pangan. Departemen Kesehatan Taiwan menyatakan, produk mi instan Indonesia itu mengandung zat pengawet E218 atau methyl p-hydroxybenzoate yang seharusnya digunakan untuk bahan kosmetik dan kecantikan.

Mi instan yang merakyat itu kini telah mendunia. Produk ini digemari mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Sifatnya yang praktis, bervariasi, rasanya enak, dan harganya terjangkau merupakan daya tarik yang luar biasa. Dari sisi kesehatan, sebenarnya tidak semua orang boleh mengonsumsi mi instan.

Mi instan adalah produk olahan mi yang telah mengalami proses pemasakan lanjutan (instanisasi), yaitu dikukus dan digoreng atau dikeringkan dengan udara panas hingga titik gelatinisasinya, lalu dikemas. Proses ini memungkinkan tingkat kemasakan mi yang sempurna dapat dicapai hanya dalam 3-5 menit perebusan.

Pemberitaan media lokal di Taiwan juga menyebutkan, konsumsi mi instan Indonesia tersebut menyebabkan nyeri pada lambung dan berbagai gangguan lain.

Menanggapi berita tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) menjelaskan, nipagin alias methyl p-phydroxybenzoate yang berfungsi sebagai pengawet aman dengan batas maksimum penggunaan. Untuk kecap, batas maksimum penggunaan yang diizinkan adalah 250 mg/kg.

Kepala Badan POM Kustantinah menyebutkan, dari kajian persyaratan di beberapa negara, seperti Kanada dan AS, batas maksimum penggunaan nipagin dalam pangan yang diizinkan adalah 1.000 mg/kg; sedangkan di Singapura dan Brunei, batas maksimum penggunaan dalam kecap 250 mg/kg dan Hongkong sebesar 550 mg/kg.

“Dengan demikian, produk mi instan yang terdaftar di Indonesia dinyatakan aman untuk dikonsumsi,” kata Kustantinah.

Sementara itu, Eddy Setyo Mudjajanto, dosen gizi masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB), ketika dihubungi Senin (11/10), menyatakan, bahan pengawet yang dipakai oleh industri mi instan banyak sekali jenisnya dan secara umum aman.

“Selama ini, kita memakai standar makanan yang berkiblat pada badan keamanan pangan di Amerika/FDA. Jika dikatakan aman, kita mengikuti. Namun, meski dinyatakan aman, perlu dikaji apakah jumlahnya juga dalam level aman,” katanya.

Berdasarkan riset yang pernah dilakukan IPB terhadap produk mi instan yang beredar di Indonesia, Eddy mengatakan, jumlah bahan pengawet yang dipakai jumlahnya bervariasi. “Saya tidak hafal rinciannya, tetapi secara umum ada 7 komponen dalam mi instan, termasuk pengawet, pewarna, dan antioksidan,” urainya.

Mengenai dampak zat pengawet bagi kesehatan, ia menyebutkan, jika makanan berpengawet dikonsumsi secara rutin dan terus-menerus, bisa memicu gangguan kesehatan, termasuk kanker.

“Memang belum ada bukti ilmiah mengenai hal ini, baru dugaan. Karena itu, sebaiknya konsumsi mi instan sebaiknya dibatasi maksimal tiga kali dalam seminggu,” katanya.

Masalah benar tidaknya dugaan tersebut, tentu perlu menjadi perhatian Kementerian Kesehatan karena mi instan banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia.

Ketika orang modern bicara soal makanan, masalah gizi selalu menjadi perhatian. Soal ini pula yang dipertanyakan saat orang mengonsumsi makanan serba praktis, makanan dalam kaleng, nugget, atau juga mi instan.

Dilihat dari segi nilai gizinya, mi sarat karbohidrat dan zat tenaga dengan kandungan protein yang relatif rendah. Bahan tambahan makanan (BTM) pada mi instan umumnya adalah pengembang adonan, penstabil adonan, pembuat emulsi, pembuat tekstur, dan zat pewarna agar warnanya menarik. Semuanya adalah BTM kimiawi khusus untuk industri pangan. BTM pada bumbu mi instan umumnya adalah monosodium glutamat (MSG atau vetsin) dan pemberi rasa.

Menurut Prof dr Made Astawan dalam buku Kandungan Gizi Aneka Bahan Makanan, sumbangan gizi dalam semangkuk mi siap santap kemasan 75 gram adalah sekitar 8 gram protein, 45 gram karbohidrat, 15 gram lemak, serta sejumlah protein dan vitamin. Total energi yang diperoleh sekitar 350 kilokalori energi.

Agar asupan gizi yang kita peroleh dari sebungkus mi instan lebih baik, dalam penyajiannya, kita disarankan menambahkan bahan-bahan lain untuk meningkatkan mutu gizi makanan tersebut. Bahan-bahan yang bisa ditambahkan adalah telur untuk meningkatkan kadar protein dan sayuran, seperti wortel, tomat, kol, sawi, atau tauge agar kadar vitamin dan mineralnya meningkat.

Itu sebabnya, mi instan tidak disarankan sebagai pengganjal perut satu-satunya setiap hari. Selain karena punya kandungan energi sedikit, mutu gizinya juga kurang. Konsumsilah makanan segar setiap hari untuk mendapatkan nilai gizi yang dibutuhkan tubuh.

Menurut dr.Ari Fahrial Syam, Sp.PD, ahli penyakit dalam dari FKUI RSCM Jakarta, orang yang menderita gangguan lambung tidak disarankan untuk mengonsumsi mi. “Untuk penderita sakit maag mi tidak disarankan karena mi mengandung ragi sehingga akan menambah gas di lambungnya,” katanya.

Selain itu, kandungan monosodium glutamat (MSG) pada mi instan juga sebaiknya dihindari oleh pengidap tekanan darah tinggi. “Natrium pada MSG akan membuat tekanan darah tinggi meningkat,” ucap salah satu staf pengajar di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM ini.

Ia menambahkan, sebagai “pengganjal” perut darurat, boleh saja mengonsumsi mi instan, namun bukan untuk dimakan secara rutin. “Yang terbaik tetaplah makanan yang segar karena nilai gizi dan vitaminnya masih tinggi,” katanya. (fn/k3m) www.suaramedia.com

Leave a comment