Gizi Buruk Bawa Pengaruh Pada Perilaku Anak

Ilustrasi: Penelitian membuktikan ada keterkaitan antara tubuh pendek dan tingkat kecerdasan. Bila sejak awal sudah tidak ada keseimbangan berat dan tinggi badan, maka akan berpengaruh pada pembentukan otak. Karena itu, kebutuhan gizi bayi sejak janin sampai usia lima tahun harus terpenuhi secara baik. (foto: detik.com)

Gizi yang buruk saat kecil akan membawa pengaruh buruk pada kesehatan fisik seorang anak. Tapi ternyata bukan hanya masalah pada fisiknya saja, tapi juga dapat menyebabkan anak mempunyai masalah perilaku saat usianya menginjak remaja.

Demikian yang terlihat dari penelitian terhadap sekitar 1.600 anak di kepulauan Mauritius, yang mengalami malnutrisi, kekurangan protein, mineral seng, besi dan vitamin B, saat mereka berusia tiga tahun. Dan setelah berusia 8, 11 dan 17 tahun, mereka cenderung mempunyai masalah perilaku yang bermacam-macam.

Anak-anak ini cenderung untuk bertingkah laku buruk di sekolah, berkelahi, melanggar peraturan sekolah dan masalah perilaku lainnya saat mereka bertumbuh dewasa. Mereka umumnya mempunyai tingkat kecerdasan (IQ) yang lebih rendah, yang merupakan tanda adanya defisit atau kekurangan dari neuro-kognitif otak akibat malnutrisi dan mungkin ini menjadi penyebab masalah perilaku tersebut.

Faktor lainnya, seperti latar belakang keluarga yang miskin, rumah yang buruk dan tingkat pendidikan orang tua yang rendah, tampaknya tidak berhubungan dengan masalah perilaku mereka.

Usia tiga tahun merupakan usia kritis bagi perkembangan otak seorang anak. Dengan gizi yang buruk pada saat itu dapat menyebabkan gangguan pada sejumlah fungsi otak sehingga mengakibatkan seorang anak menjadi agresif dan hiperaktif di kemudian hari.

Ada pula penelitian yang  membuktikan ada keterkaitan antara tubuh pendek dan tingkat kecerdasan. Bila sejak awal sudah tidak ada keseimbangan berat dan tinggi badan, maka akan berpengaruh pada pembentukan otak. Karena itu, kebutuhan gizi bayi sejak janin sampai usia lima tahun harus terpenuhi secara baik.

Kepala Seksi Standardisasi, Subdit Gizi Mikro, Direktorat Gizi pada Ditjen Kesehatan Masyarakat Depkes dr Atmarita menegaskan hal tersebut di Jakarta, di sela-sela Kongres Nasional XII dan temu ilmiah Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi).

Menurut Atmarita, anak yang perkembangannya sangat lambat disebabkan oleh pembentukan otak maupun tubuhnya tidak baik akibat gizinya buruk. “Berarti hal paling penting adalah pemenuhan gizi bayi sejak dalam kandungan sampai berusia lima tahun, dan bila tidak terpenuhi, pertumbuhan otak dan tubuhnya tidak bagus. Anak dengan tubuh pendek, ia mengemukakan, berarti status gizi pada masa lalunya sudah kronis,” jelas Atmarita.

Namun begitu, lanjutnya, sampai usia 18 tahun pun asupan gizi masih penting untuk pertumbuhan fisik anak. Jadi jika tubuh seseorang kurus, Atmarita menilai, hal ini dipengaruhi oleh keadaan gizi pada saat itu.

Bersama rekannya, dr Robert L Tiden, pakar gizi tersebut menganalisis masalah gizi di perkotaan yang dikaitkan dengan tinggi badan anak baru masuk sekolah.

Atmarita mengatakan, 62% lebih anak di perkotaan memiliki tinggi badan normal dari segi umur, sedangkan anak di pedesaan hanya 49%. Maka disimpulkan bahwa anak di perkotaan memiliki keadaan gizi lebih baik dibanding anak di pedesaan. Meski demikian, obesitas (gemuk sekali) pada anak di perkotaan cenderung lebih tinggi dibanding anak di pedesaan. Cuma, masalah itu mulai meningkat bukan saja di perkotaan, melainkan juga di pedesaan.

Atas dasar tersebut, Atmarita menegaskan, program perbaikan gizi sekarang harus diubah dengan memerhatikan faktor yang terkait dengan pola hidup penduduk di perkotaan maupun pedesaan.

Sebelumnya, Menkes Achmad Sujudi dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh Staf Ahli Menkes Bidang Desentralisasi dan Kelembagaan Dini Latief merasa prihatin karena proporsi anak pendek di Indonesia masih cukup tinggi.

“Saya yakin, para ahli gizi mengetahui situasi ini karena di tiap wilayah telah difasilitasi dengan pemantauan status gizi,” ulasnya.

Ia menambahkan sudah banyak penelitian yang menyimpulkan pentingnya gizi untuk meningkatkan kemampuan belajar dan mengikuti pendidikan sampai tingkat tertinggi.

Menkes mengutip pula sejumlah studi di Filipina, Jamaika, dan negara lainnya yang membuktikan, adanya hubungan yang sangat bermakna antara tinggi badan dan kemampuan belajar.

Bahkan, ujarnya, dihasilkan bahwa pemberian makanan tambahan pada anak bertubuh pendek berusia 9-24 bulan akan mampu meningkatkan kemampuan belajar anak ketika berusia 7-8 tahun.

Dibuktikan pula dari beberapa studi bidang ekonomi di Ghana maupun Pakistan mengenai pentingnya gizi untuk mendukung pembangunan. “Malah dengan menurunkan prevalensi anak pendek sebesar 10%, akan dapat meningkatkan 2%-10% proporsi anak yang mendaftar ke sekolah.” (fn/is/ba) www.suaramedia.com

Leave a comment